Istilah “shell shock” digunakan selama Perang Dunia Pertama untuk menggambarkan reaksi stres akut yang ditunjukkan oleh banyak tentara di medan perang. Ketika tidak ditangani, reaksi stres pertempuran jangka pendek dapat menyebabkan masalah yang lebih berkepanjangan, seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Studi tentang reaksi stres pertempuran telah berkembang secara signifikan sejak Perang Dunia Pertama, ketika tentara dengan kejutan peluru umumnya diperlakukan sebagai berpura-pura yang berusaha untuk keluar dari pertempuran.
Sejumlah istilah slang telah digunakan untuk merujuk pada reaksi stres memerangi, termasuk jantung prajurit, neurosis perang, dan kelelahan pertempuran. Banyak dari istilah ini, seperti kejutan peluru, datang dengan implikasi merendahkan di mana dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tentara yang menderita kondisi ini adalah pengecut, bukan orang yang mengalami ketegangan psikologis dan fisik yang asli. Sikap negatif tentang efek stres pertempuran menyebabkan kurangnya pilihan pengobatan untuk tentara yang menderita reaksi stres akut.
Beberapa hal adalah tanda-tanda shell shock. Paling umum, tentara tampak bingung dan tidak bisa fokus. Mereka mungkin juga mengalami sejumlah reaksi sistem saraf otonom seperti gemetar, mimpi buruk, berkedut, sakit kepala, kelelahan, insomnia, pusing, kecemasan, dan lekas marah. Tingkat reaksi stres pertempuran cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat cedera dan kematian. Di parit Perang Dunia Pertama, tingkat korban 10% sangat menghancurkan, dan tingkat reaksi stres pertempuran sangat tinggi.
Para dokter yang merawat tentara selama Perang Dunia Pertama pada awalnya percaya bahwa kejutan peluru dan “tatapan seribu yard” yang terkait dengannya adalah akibat dari trauma fisik pada otak yang disebabkan oleh jarak dekat dari peluru yang meledak. Dokter cenderung meresepkan istirahat jauh dari depan untuk petugas yang menderita shock shell, sementara tamtama sering dituduh pengecut dan dikirim kembali ke medan perang. Beberapa ditembak karena pengecut, atau dihukum dengan berbagai cara kreatif yang tidak diragukan lagi menambah tekanan emosional mereka.
Tentara modern mengenali apa yang disebut “kejutan cangkang” dalam kondisi asli dan kompleks. Berbagai teknik digunakan untuk mengurangi risiko serangan peluru di antara tentara, termasuk latihan membangun moral dan penyediaan makanan, tempat tinggal, dan istirahat yang cukup. Dalam situasi pertempuran di mana reaksi stres mungkin terjadi, tentara ditawarkan konseling dan dukungan psikiatri di samping tindakan fisik. Perawatan untuk reaksi stres pertempuran sering ditawarkan di dekat medan perang, memungkinkan tentara untuk kembali ketika mereka dinyatakan layak untuk bertugas. Beberapa orang percaya bahwa kebijakan mengembalikan tentara ke medan perang setelah mengalami reaksi stres pertempuran bisa berbahaya, karena dapat membuat tentara mengalami PTSD jangka panjang.