Pemerkosaan Nanjing adalah periode kekejaman masa perang yang dilakukan oleh pasukan Jepang di kota Nanjing, Tiongkok. Sekitar akhir tahun 1937 dan awal tahun 1938, ratusan ribu tentara dan warga sipil Tiongkok dibunuh, diperkosa, dan disiksa. Kota Nanjing dijarah, dan banyak bangunan dibakar. Meskipun beberapa orang yang bertanggung jawab kemudian diadili, Pemerkosaan Nanjing tetap menjadi topik kontroversi antara Cina dan Jepang sejak akhir Perang Dunia II.
Latar Belakang
Pada musim gugur 1937, pasukan Jepang telah menyerang dan merebut kota Shanghai, yang terletak sedikit di selatan Nanjing. Setelah kekalahan, mereka mulai memperkosa dan menjarah hingga ke Nanjing, yang saat itu merupakan ibu kota Tiongkok. Komandan Tiongkok, Jenderal Chiang Kai Shek, tahu bahwa tidak mungkin mempertahankan Nanjing, jadi dia memindahkan sebagian besar pasukannya ke pedalaman negara itu. Sekitar 100,000 tentara tetap mempertahankan Nanjing, yang diperintahkan untuk membakar dan menghancurkan apa pun di sekitar kota yang dapat membantu pasukan Jepang. Ketika tentara Jepang mulai mendekati kota, banyak penduduk meninggalkan kota, meskipun beberapa, termasuk beberapa non-Cina, memilih untuk tinggal.
Pertempuran dan Kekejaman
Pasukan Jepang mengepung Nanjing pada 9 Desember, dan setelah Chiang Kai Shek menolak proposal untuk menyerah melalui telegram, mulai menyerang kota itu pada 10 Desember. Pertempuran itu pada dasarnya berakhir pada tanggal 13, dengan pasukan Tiongkok dikerahkan. Setelah kota itu jatuh, pasukan Jepang memulai periode enam minggu penjarahan, pemerkosaan, pembakaran, dan pembunuhan sekitar 200,000 orang Tionghoa, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Pemerkosaan geng adalah hal biasa, seperti halnya inses paksa, penyiksaan, dan kontes pembunuhan.
Beberapa orang non-Cina yang telah memilih untuk tinggal di Nanjing telah membentuk Komite Internasional untuk Zona Aman Nanking, yang memungkinkan mereka untuk membuat daerah yang sebagian besar ditinggalkan sendirian. Beberapa orang mencoba menyelamatkan warga China dengan menyembunyikan mereka di zona aman, dan sejumlah pengamat asing ini menulis tentang Pemerkosaan Nanjing, mengirimkan laporan berita dan bahkan rekaman video, dalam kasus John Magee, seorang misionaris Amerika. Banyak foto dari Nanjing disimpan di arsip nasional di seluruh dunia.
Ujian
Dalam pengadilan yang diadakan setelah Perang Dunia II, perwira utama, Jenderal Iwane Matsui, dihukum karena kejahatan perang dan digantung. Pangeran Asaka Yasuhiko, yang telah mengambil alih Matsui sementara selama pertempuran, juga terlibat, tetapi sebelumnya telah diberikan kekebalan dalam perjanjian antara Jenderal Amerika MacArthur dan Kaisar Jepang Hirohito. Selama persidangan, beberapa perwira Jepang mengklaim bahwa tindakan mereka selama Pemerkosaan Nanjing dapat dipertahankan, karena mereka merasa bahwa mereka berisiko dari tentara Tiongkok, tetapi bukti kuburan massal yang diisi dengan wanita dan anak-anak terikat menunjukkan sebaliknya.
Kontroversi
Peristiwa Perang Tiongkok-Jepang telah menjadi sumber gesekan terus-menerus antara Jepang dan Cina, terutama sejak akhir Perang Dunia II. Meskipun keduanya secara resmi mengakui beberapa kesalahan atas kejahatan perang yang dilakukan selama periode ini, Jepang tidak membuat permintaan maaf resmi atas Pemerkosaan Nanjing sampai tahun 1995. Satu hal yang mencuat adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni, yang menghormati banyak tentara Jepang, termasuk beberapa penjahat perang. Kuil itu juga memiliki plakat yang mengatakan bahwa pembantaian itu tidak terjadi. Selain itu, beberapa nasionalis dan revisionis di Jepang bersikeras bahwa peristiwa itu tidak benar-benar terjadi, atau bahwa kebrutalannya sangat dibesar-besarkan. Meskipun demikian, banyak orang Jepang yang tidak setuju dengan sikap resmi pemerintah atas insiden tersebut, dan hanya sedikit yang menyangkal bahwa peristiwa tersebut terjadi.