Trachyte adalah batuan beku vulkanik ekstrusif. Ekstrusif mengacu pada pengusiran batuan dari bumi selama letusan magma, dan beku mengacu pada batuan yang memadat dan kemudian didinginkan dari lava. Teksturnya bisa berbutir halus atau kasar. Trachyte terutama terdiri dari mineral yang kaya akan unsur alkali. Terkadang pendinginannya begitu cepat sehingga butiran-butiran kaca kecil benar-benar terbentuk di dalam trachyte.
Batuan vulkanik ini terutama terdiri dari sanidine feldspar. Feldspar mengacu pada pengelompokan mineral yang terdiri dari aluminium, kalium, natrium dan kalsium dan mineral ini yang membentuk hampir semua batuan kristal. Batuan ini biasanya memiliki rongga uap yang sangat kecil yang cenderung membuat permukaannya tidak beraturan. Trachyte sering memiliki pita atau garis yang melewatinya karena garis aliran lava yang membeku. Meskipun jarang, kuarsa juga dapat hadir di batu.
Batuan trachyte umumnya dianggap porfiritik di alam. Ini berarti bahwa mereka dapat bertatahkan kristal yang cukup besar dalam massa bertekstur halus. Mereka ditemukan dalam jumlah yang signifikan selama periode tersier. Istilah geologi ini mengacu pada periode yang berasal dari 2.6 juta tahun hingga 65 juta tahun. Trachytes umumnya ditemukan di Eropa dan terutama di distrik Rhine Jerman.
Batuan vulkanik ini terkadang kaya akan silika dan telah digunakan oleh manusia sejak zaman Romawi. Warnanya berkisar dari ungu ke merah muda hingga abu-abu dan digunakan untuk mengaspal jalan serta patung, dan bahkan membangun furnitur. Alun-alun St. Mark di Venesia sebenarnya diaspal dengan trachyte. Gunung Kilimanjaro di Afrika, serta Gunung Erebus di Antartika, keduanya merupakan contoh gunung berapi trachyte. Trachyte dianggap setara vulkanik dari svenite, yang merupakan batuan yang telah dipaksa oleh magma ke dalam celah-celah batuan lain dan mengkristal, namun tidak cukup mencapai permukaan bumi.
Vulkanologi berkaitan dengan studi tentang gunung berapi dan lava serta kejadian geokimia dan geologi. Bidang studi ini berusia ribuan tahun dan lukisan batu gunung berapi yang meletus berasal dari periode Neolitik di Turki. Ahli vulkanologi menggunakan seismograf untuk mendeteksi peningkatan aktivitas di dalam dan sekitar gunung berapi aktif. Setelah gunung berapi meletus, para ahli geologi akan sering mempelajari batuan seperti trachytes dari lontaran magma untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang kerak bumi dan pergerakannya. Kata vulkanologi diambil dari kata Latin Vulcan, yang dianggap sebagai dewa api Romawi.