Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan yang terkadang dialami orang ketika mereka mengalami pengalaman yang mengerikan dan intens, seperti perang, kekerasan, atau bencana. Ini pertama kali ditemukan berdasarkan reaksi beberapa tentara terhadap pengalaman masa perang yang menakutkan, dan mereka awalnya menyebutnya kejutan cangkang. Jadi pada dasarnya, PTSD dan shell shock adalah hal yang sama, meskipun istilah shell shock umumnya hanya diterapkan pada situasi masa perang, sedangkan PTSD diterapkan pada hampir semua jenis stres traumatis.
Ada evolusi bertahap antara konsep PTSD dan shell shock, dan pada awalnya, kondisi itu hanya dianggap sebagai bentuk kepengecutan. Selama 1800-an dan sebelumnya, tentara yang berurusan dengan gejala semacam ini dieksekusi begitu saja. Para jenderal, yang tidak memiliki pemahaman yang nyata tentang penyakit mental atau ide-ide seperti PTSD dan shell shock, berpikir bahwa eksekusi akan berfungsi sebagai pencegah agar tentara tidak menyerah pada ketakutan mereka.
Perang Dunia 1 adalah konflik pertama di mana para ahli menyadari adanya kondisi mental yang kemudian dikenal sebagai PTSD dan shell shock. Jumlah masalah mental meningkat secara signifikan dibandingkan dengan perang sebelumnya, dan para ahli mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Awalnya, para psikiater pada saat itu mengira peningkatan itu karena tentara bereaksi terhadap ledakan keras amunisi dan bom jenis baru, atau mungkin bahkan tekanan udara dari ledakan. Inilah mengapa mereka menyebutnya shell shock. Masih banyak eksekusi karena pengecut selama perang itu, dan banyak jenderal yang cukup skeptis terhadap keseluruhan konsep shell shock.
Seiring berjalannya waktu, para ahli memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang stres pasca trauma. Akibatnya, mereka dapat melakukan upaya untuk mencegahnya terjadi, dan perang berikutnya menghasilkan lebih sedikit kasus. Mereka juga mulai memahami bahwa kondisi tersebut cenderung bertahan lama setelah perang usai. Beberapa veteran perang benar-benar memiliki gejala sepanjang hidup mereka, meskipun sebagian besar secara bertahap belajar menanganinya secara lebih efektif dengan pengobatan.
Akhirnya, para ahli menyadari bahwa stres pasca trauma tidak hanya terbatas pada pengalaman masa perang. Mereka mulai memahami bahwa hampir semua jenis pengalaman yang sangat traumatis dapat menyebabkan orang menderita gejala yang sama, dan orang-orang itu akan sering merespons jenis perawatan yang sama.