Topi bodoh adalah topi kertas berbentuk kerucut, sering ditandai dengan huruf “D” atau kata “bodoh”, dan sebelumnya digunakan sebagai metode hukuman melalui penghinaan publik di ruang kelas. Siswa yang lamban, malas, atau dianggap bodoh dipaksa duduk di pojok kelas dengan topi dungu, seringkali di bangku tinggi setelah dihukum secara fisik juga. Di beberapa sekolah, siswa yang lebih lambat juga akan dipisahkan ke “meja bodoh”, sehingga mereka tidak mengganggu siswa lain. Di sebagian besar sekolah modern, siswa yang mengalami kesulitan belajar diidentifikasi membutuhkan perhatian khusus, dan biasanya dirujuk untuk evaluasi lebih lanjut daripada dipermalukan.
Sejarah topi dungu cukup menarik, karena topi itu awalnya dipakai oleh sekelompok filsuf esoteris. Topi ini terkait dengan filsuf abad ke-13, John Duns Scotus, asli Skotlandia. Filosofi Scotus sangat kompleks dan sulit untuk dipahami, tetapi ia memiliki sekelompok pengikut setia yang kemudian dikenal sebagai Dunsmen. Pada abad ke-16, kemajuan dalam pemikiran filosofis menyebabkan penolakan umum terhadap ajaran Scotus, dan para pengikutnya, Dunsmen, diejek. Istilah “bodoh” menjadi sinonim dengan “idiot”. Banyak pengikutnya menolak kemajuan dalam pemikiran, yang mengarah ke asosiasi ketegaran dan kelambatan dengan orang bodoh, serta kebodohan.
The Dunsmen mengenakan topi kerucut karena mereka percaya bahwa topi itu akan meningkatkan pengetahuan. Gagasan tentang puncak atau titik yang mewakili puncak pengetahuan adalah umum bagi banyak masyarakat, dan Scotus juga percaya bahwa topi itu akan menyalurkan pembelajaran ke pemakainya. Topi dungu ini mungkin terbuat dari kain kempa atau bahan kaku lainnya sehingga tidak akan melorot atau melorot saat dipakai. Meskipun mungkin dimulai sebagai simbol untuk dibanggakan, topi bodoh mulai digunakan sebagai metode penghinaan publik, karena asosiasi negatif dengan Dunsmen.
Keyakinan tentang pendidikan telah berubah secara radikal sejak abad ke-16, ketika mempermalukan siswa di depan kelas diyakini bermanfaat atau lucu. Penggunaan topi bodoh bertahan sampai awal abad kedua puluh, bersama dengan hukuman fisik untuk siswa nakal. Topi bodoh jarang digunakan oleh para pendidik modern, meskipun topi itu muncul dalam budaya populer dalam bentuk kartun, buku, dan lelucon.