Perilaku yudisial adalah standar perilaku hukum atau yang disarankan bagi para hakim. Agar warga negara memiliki keyakinan dan kepercayaan pada sistem peradilan dan dengan demikian supremasi hukum, penting bagi hakim untuk mencerminkan standar kejujuran dan ketidakberpihakan. Persyaratan untuk perilaku yudisial sering kali didasarkan pada kode etik dan praktik tertulis, dan dapat bervariasi antar wilayah.
Umumnya, standar perilaku peradilan mencoba untuk memastikan bahwa hakim tidak dapat dilihat sebagai orang yang munafik, parsial, atau tidak kompeten. Walaupun standar-standar ini mungkin tampak jelas, sebagian besar badan peradilan merasa perlu untuk memasukkannya ke dalam kode etik peradilan, bersama dengan hukuman yang sesuai untuk pelanggaran. Kode perilaku yudisial memiliki dua fungsi utama: memungkinkan publik dan hakim mengetahui standar apa yang diharapkan, dan memungkinkan kedua belah pihak mengetahui sejauh mana dan dampak konsekuensi jika tidak dipatuhi.
Salah satu standar paling dasar dari perilaku peradilan adalah kepatuhan terhadap semua hukum. Seorang hakim yang melanggar hukum sendiri tidak dapat dipercaya untuk memberikan penilaian yang adil kepada pelanggar hukum lainnya; membiarkan hakim yang melanggar hukum untuk memberikan penilaian dapat dianggap munafik. Menurut beberapa undang-undang, hakim yang melanggar hukum dapat dikenakan skorsing atau bahkan diberhentikan dari jabatannya, tergantung pada situasinya. Namun, tidak semua pelanggaran hukum menghasilkan disiplin wajib; seorang hakim yang mendapat tiket parkir tidak mungkin dilempar dari bangku cadangan.
Kekhawatiran umum lainnya dalam perilaku peradilan adalah munculnya ketidakberpihakan. Hakim biasanya tidak dianjurkan untuk mengambil bagian dalam debat politik, tampil di berita atau acara bincang-bincang untuk membela atau menentang suatu masalah, atau mencalonkan diri untuk jabatan politik. Di Amerika Serikat dan banyak negara lain, cabang yudikatif dimaksudkan untuk menjadi pengawas kekuasaan legislatif atau eksekutif; secara tegas mengakui posisi politik dapat diartikan sebagai ancaman terhadap independensi cabang yudisial. Sementara hakim tidak dilarang dari keyakinan politik pribadi atau hak untuk memilih, keterlibatan politik publik biasanya tidak dianjurkan.
Beberapa kode etik peradilan menekankan pentingnya jabatan daripada kepentingan pribadi atau perguruan tinggi. Di banyak yurisdiksi, menggunakan kantor sebagai sarana untuk mempengaruhi orang lain atau menerima anugerah dipandang sangat dekat dengan mengizinkan suap, dan sangat tidak dianjurkan. Demikian juga, hakim biasanya diharuskan oleh perjanjian perilaku yudisial untuk melaporkan bukti perilaku buruk dari hakim, pengacara, dan pejabat pengadilan lainnya. Jenis undang-undang ini mencoba untuk memastikan bahwa seorang hakim individu tetap tunduk pada sistem hukum hukum.