Pelecehan verbal adalah bentuk baterai yang melibatkan penggunaan kata-kata, bukan pukulan dan pukulan. Dalam situasi yang kasar secara verbal, kata-kata digunakan untuk menyerang, mengendalikan, dan menyakiti orang lain. Perilaku kasar secara verbal jauh melampaui perilaku kejam; itu melibatkan menimbulkan kekerasan psikologis pada orang lain, menyerang sifat individu dan berusaha untuk menghancurkan semangatnya. Pelecehan verbal dapat mempengaruhi orang-orang dari segala usia dan dalam semua jenis hubungan. Namun, hal ini sangat lazim dalam hubungan perkawinan.
Sejumlah perilaku dianggap kasar secara verbal, termasuk ledakan kemarahan, kemarahan berteriak, dan pemanggilan nama. Pelecehan verbal sering kali mencakup menyalahkan, mencuci otak, dan intimidasi. Agresi tersembunyi juga merupakan bagian dari pelecehan verbal. Pelecehan verbal sangat manipulatif, karena penghinaan sering disamarkan sebagai komentar peduli. Pelecehan verbal bisa terbuka atau terselubung, tetapi selalu tentang mengendalikan dan memanipulasi korban.
Seringkali, komentar kasar secara verbal ditawarkan sebagai lelucon. Ketika sasaran lelucon disakiti atau dihina, pelaku kekerasan verbal menertawakannya dan mengatakan bahwa korban terlalu sensitif. Namun, maksud dari pelaku kekerasan verbal adalah untuk menyebabkan luka ini. Setelah beberapa waktu, pelecehan verbal sering meningkat menjadi kekerasan fisik.
Argumen dalam hubungan yang kasar secara verbal jauh berbeda dari argumen dalam hubungan yang sehat. Biasanya, orang memperdebatkan masalah nyata yang memiliki potensi untuk diselesaikan. Dalam argumen yang kasar secara verbal, konflik sebenarnya bukanlah masalah dan masalah tidak terselesaikan. Pelecehan menjadi masalah, dan seringkali korban diberitahu bahwa semuanya selalu salahnya.
Seringkali, pelaku kekerasan verbal memberi tahu korbannya apa yang harus dipikirkan dan bagaimana perasaannya. Mereka biasanya menolak untuk melihat atau memahami sudut pandang korban. Bahkan, mereka sering menolak, dengan cara verbal yang kasar, pendapat dan keinginan korban. Pelaku kekerasan verbal sering menyangkal kenyataan dan berusaha membuat korbannya bingung dengan terus-menerus mengubah atau mendistorsi masalah.
Menahan diri sering kali merupakan bagian utama dari pelecehan verbal. Dalam hubungan yang kasar secara verbal, pelaku dapat menahan informasi, kasih sayang, dukungan, atau uang. Ketika korban pelecehan mencoba untuk berbicara tentang masalah tersebut, pelaku kekerasan verbal menyangkal masalah tersebut sama sekali.
Pelaku kekerasan verbal sering kali berusaha mengisolasi pasangannya, memutuskan atau menghalangi hubungan mereka dengan teman dan keluarga. Terkadang, pelaku kekerasan verbal bekerja untuk meyakinkan korban bahwa pelaku adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli atau menyukai korban. Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan verbal mungkin mengakui perilakunya dan setuju untuk berhenti. Biasanya, bagaimanapun, perilaku dimulai lagi dalam waktu singkat.
Pelecehan verbal dapat digambarkan sebagai sembunyi-sembunyi; meninggalkan luka yang tidak terlihat dengan mata telanjang. Karena merusak pikiran dan jiwa, itu bisa lebih sulit dikenali daripada kekerasan fisik. Juga, para korbannya menjadi begitu hancur karenanya sehingga mereka seringkali tidak dapat menyadari pelecehan itu sendiri.
Rasa rendah diri dan kebingungan selalu ada di benak orang yang dilecehkan secara verbal. Pelaku seringkali mampu meyakinkan korban bahwa dialah masalahnya. Bahkan, pelaku kekerasan verbal sering menuduh yang disalahgunakan berperan sebagai korban.
Pada akhirnya, korban kekerasan verbal menjadi sangat lelah dengan pelecehan tersebut sehingga dia tidak dapat memberikan pembelaan terhadapnya. Seringkali, korban mulai mencoba mengubah atau menenangkan pelaku, berpikir bahwa perubahan seperti itu akan memperbaiki hubungan. Sayangnya, pelaku kekerasan verbal biasanya tidak berubah dengan sendirinya. Agar perubahan nyata terjadi, bantuan psikiatri profesional biasanya diperlukan.