Pelecehan mental mencakup berbagai perilaku yang semuanya memengaruhi persepsi korban tentang realitas. Pelaku akan sering mencoba untuk mengontrol perilaku dan emosi korban dengan memanipulasi informasi yang tersedia dan menolak akses ke keluarga, teman, dan keuangan. Korban juga dapat menjadi sasaran kritik yang menyakitkan, ejekan, dan pemanggilan nama untuk menurunkan harga dirinya. Pelecehan mental juga dapat terjadi jika korban dipaksa untuk menyaksikan penganiayaan orang lain. Tidak seperti kekerasan fisik, kekerasan mental tidak meninggalkan bekas atau luka yang terlihat, tetapi bisa sama traumatisnya bagi korban jika tidak lebih.
Mengubah dan mengendalikan perasaan diri dan realitas korban sering kali menjadi tujuan pelaku kekerasan mental. Pelecehan mental, seperti kekerasan fisik, dimaksudkan untuk memaksa korban mematuhi pelaku. Menyebabkan trauma emosional dapat menjadi metode intimidasi yang efektif dan mencegah perlawanan korban tanpa menimbulkan bukti fisik kekerasan, yang dapat menarik perhatian orang lain.
Penghinaan, ejekan, dan pemanggilan nama dapat, seiring waktu, merusak harga diri seseorang dengan membuatnya merasa tidak berharga atau tidak berguna. Korban mungkin menarik diri dari teman-teman dan keluarga dan melupakan kesempatan pendidikan dan pekerjaan karena merasa tidak layak. Jika pelaku dihadapkan pada perilaku ini, dia akan sering mencoba untuk memberikan pelecehan verbal sebagai lelucon bahwa korban bersalah karena tidak mengerti.
Pelaku secara bertahap dapat membatasi akses korban ke keluarga, teman, dan dunia luar secara umum. Isolasi semacam itu memungkinkan pelaku untuk mengendalikan rasa realitas korban. Korban juga dapat kehilangan akses ke rekening banknya, membuatnya semakin tergantung pada pelaku.
Situasi ekstrim pelecehan mental melibatkan korban dipaksa untuk menonton sementara orang lain dilecehkan dalam beberapa cara. Korban kedua ini dapat dianiaya secara fisik, mental, atau seksual. Situasi ini dapat berkembang ketika orang tua yang mengalami kekerasan menyaksikan pelaku kekerasan menyerang anak-anaknya sambil merasa tidak berdaya untuk campur tangan.
Dalam banyak kasus pelecehan mental, korban mungkin menjadi percaya bahwa dia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Hal ini sering kali merupakan akibat dari kontrol pelaku terhadap persepsi korban tentang realitas. Pelaku dapat menyalahkan korban atas perilaku kasarnya atau meyakinkan korban bahwa pelecehan itu hanya khayalan.
Ada kemungkinan bahwa korban mungkin tidak segera menyadari bahwa dia mengalami pelecehan mental. Pelaku mungkin meminta maaf, berjanji tidak akan mengulangi perilaku tersebut, dan korban mungkin takut untuk mencari bantuan atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Karena pelecehan mental umumnya menjadi semakin parah seiring waktu, memutus siklus adalah langkah penting menuju pemulihan.