Filsafat seni adalah diskusi tentang apa yang merupakan seni. Pemikiran filosofis semacam itu dikenal sebagai estetika. Ini mencakup keindahan, rasa dan penciptaan, tetapi ketika diringkas ke dalamnya, estetika adalah satu pertanyaan sederhana: apa itu seni? Jawabannya seringkali tergantung pada pendapat individu, dan sejumlah besar filsuf telah memberanikan diri untuk menjawabnya dengan cara mereka sendiri.
Kontroversi terbesar dalam filsafat seni modern adalah definisinya. Para filsuf bertanya-tanya apakah seni dapat didefinisikan sama sekali, atau bahkan jika memang seharusnya demikian. Definisi klasik seni adalah objek yang diberi makna di luar fungsinya, dipisahkan dari objek sehari-hari dan dirancang dengan mempertimbangkan visual dan bukan fungsional. Beberapa dari karya-karya ini spesifik secara budaya sementara yang lain bersifat universal.
Pertanyaan itu telah mengganggu para intelektual lintas peradaban dan lintas waktu. Filsuf Yunani Plato percaya seni adalah kombinasi paling benar dari keindahan dan harmoni. Pemikiran filosofis tentang seni di Eropa berasal dari Yunani. Dunia juga telah dipengaruhi oleh Mesir, Persia, India, dan Cina, dengan masing-masing negara menyebarkan gagasannya sendiri di luar perbatasannya. Pada gilirannya, setiap budaya telah mempengaruhi satu sama lain juga.
Definisi klasik cocok dengan pemikiran Leo Tolstoy sendiri tentang masalah ini. Filosofi seninya adalah bahwa seni menangkap perasaan seniman dan menyampaikan perasaan itu kepada pemirsa. Dalam hal ini, seni itu objektif karena perasaan sudah ada dan tidak bisa diubah.
Francis Hutcheson, bagaimanapun, percaya semua seni itu subjektif. Dalam filosofinya, estetika secara harfiah ada di mata yang melihatnya. Menurut model Hutcheson, tempat tidur satu orang yang belum dirapikan adalah karya seni Tracy Ermin milik orang lain, dan sapi milik satu orang dalam formaldehida adalah karya klasik Damien Hurst milik orang lain.
Eli Siegel melangkah satu langkah melampaui subjektivitas dengan menghilangkan peran muatan makna yang disadari oleh sang seniman. Siegel percaya bahwa semua benda di dunia nyata itu indah. Dengan cara ini, Kapel Sistina setara dengan gudang dan vas Ming dengan panci masak Zaman Besi. Filosofi seninya dikenal sebagai realisme estetis dan menimbulkan pertanyaan, berapa banyak kerajinan yang diperlukan untuk membuat sesuatu menjadi artistik?
Agama juga memiliki efek pada seni dan filsafat seni. Keyakinan agama telah mempengaruhi apa yang merupakan seni dan apa yang dianggap dapat diterima. Dalam hal ini, itu akan menjadi etika estetika. Misalnya, tradisi Islam percaya bahwa Tuhan menghasilkan seni yang sempurna, sedangkan karya manusia cacat. Orang Jepang, sebaliknya, dengan tradisi wabi sabi mereka, percaya bahwa kesalahan bawaan manusia ada dalam karya seninya dan itulah yang membuatnya indah.