Mitologi matahari, atau mitologi matahari, adalah bagian penting dari mitologi beragam budaya manusia. Banyak budaya memandang, atau telah mempersepsikan, matahari sebagai makhluk ilahi. Mengingat keunggulan matahari di langit dan pentingnya dalam kehidupan sehari-hari, peran yang dimainkannya seringkali signifikan. Banyak budaya memiliki atau memiliki beberapa bentuk mitologi matahari yang mencoba menjawab pertanyaan dasar tentang matahari. Misalnya, pertanyaan tentang ke mana matahari pergi pada malam hari adalah topik yang umum, seperti halnya pertanyaan tentang bagaimana ia bergerak melintasi langit.
Mitologi matahari lebih penting untuk beberapa sistem agama daripada yang lain. Di Mesir kuno, misalnya, banyak dewa memiliki atribut matahari, dan dewa matahari, Ra, adalah tokoh sentralnya. Ketika raja Akhenaten berusaha untuk mereformasi agama Mesir pada abad ke-14 SM, ia melembagakan penyembahan dewa baru, Aten, piringan matahari. Demikian pula, dalam paganisme Romawi kemudian, dewa matahari menjadi semakin penting, dengan kultus Sol Invictus, Matahari yang Tak Terkalahkan, menjadi salah satu kepercayaan yang paling menonjol. Kekristenan awal menggunakan simbolisme Sol Invictus.
Di daerah lain, mitologi matahari kurang menonjol. Temuan arkeologis dari Zaman Perunggu Denmark tampaknya menunjukkan bahwa citra matahari yang ditarik melintasi langit dengan kereta kuda adalah penting, tetapi catatan tertulis terbatas yang menggambarkan agama Norse pada periode awal abad pertengahan memberikan kepentingan terbatas pada dewa matahari, sebagai gantinya berfokus pada perbuatan Odin, dewa kerajaan dan sihir, dan Thor, dewa guntur.
Mitologi matahari juga penting di Amerika. Kerajaan Inca di Peru memiliki Inti, dewa matahari, sebagai dewa pelindungnya. Demikian pula, dalam kosmologi Aztec, Tonatiuh, dewa matahari, adalah penguasa surga, dewa kuat yang menuntut pengorbanan sebagai imbalan atas perlindungannya yang berkelanjutan.
Kehadiran mitologi matahari di begitu banyak budaya di seluruh dunia membuat para antropolog dan folklorist, khususnya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, mencari contoh dewa matahari di semua budaya. Beberapa mengklaim bahwa banyak agama, termasuk Kristen, didasarkan pada kisah mendasar tentang matahari yang turun ke dunia bawah saat matahari terbenam dan kembali saat fajar. Pandangan ini sekarang secara luas dianggap sebagai generalisasi yang salah. Demikian pula, pola dewa matahari laki-laki, seperti dewa Yunani Apollo, dan dewi bumi perempuan diyakini menjadi dasar agama, meskipun faktanya banyak budaya, termasuk Jepang dan Skandinavia pra-Kristen, memiliki dewa matahari perempuan.