Apa Bentuk Diskriminasi Penyakit Mental yang Berbeda?

Diskriminasi penyakit mental dianggap sebagai masalah umum bagi mereka yang menderita penyakit mental. Bagi banyak orang, stigma penyakit mental membuat hidup dengan penyakit seperti itu semakin sulit. Orang dengan penyakit mental mungkin mengalami penolakan oleh teman dan keluarga, mereka mungkin dilewatkan untuk pekerjaan atau promosi, atau mereka mungkin ditolak perawatan kesehatan yang memadai. Diskriminasi penyakit mental bahkan dapat membuat orang sakit jiwa rentan terhadap tindakan kekerasan. Banyak orang dengan penyakit mental merasa enggan untuk mendiskusikan penyakit mereka dengan orang lain karena takut diskriminasi penyakit mental.

Salah satu bentuk utama diskriminasi penyakit mental dapat ditemukan di bidang perawatan kesehatan. Banyak pasien sakit jiwa mendapati bahwa dokter keluarga atau dokter umum mereka mengabaikan gejala penyakit mental mereka, atau menolak menawarkan pengobatan untuk gejala penyakit mental yang tampaknya tidak membahayakan nyawa pasien. Laporan menunjukkan bahwa beberapa dokter mungkin mengabaikan gejala penyakit fisik pada orang yang sakit jiwa, mungkin karena kepercayaan umum bahwa orang yang sakit jiwa tidak dapat diandalkan atau tidak dapat dipercaya, dan mungkin membayangkan gejala fisik yang sebenarnya tidak ada. Penyedia asuransi kesehatan mungkin gagal untuk menawarkan cakupan yang memadai untuk masalah kesehatan mental, sehingga sulit bagi penderita penyakit mental untuk membayar perawatan yang mereka butuhkan.

Majikan juga dikenal mempraktekkan diskriminasi penyakit mental. Banyak pemberi kerja mungkin menganggap orang dengan penyakit mental sebagai orang yang berbahaya, tidak dapat diandalkan, atau tidak cerdas. Sebuah studi oleh Yayasan Kesehatan Mental di Inggris, menemukan bahwa hampir 75 persen orang dengan penyakit mental merasa segan untuk mengungkapkan sifat penyakit mereka kepada majikan, dan bahwa sekitar 50 persen dari mereka dengan penyakit mental merasa segan untuk memberi tahu rekan kerja tentang kondisi medis mereka.

Orang dengan penyakit mental juga dapat menghadapi diskriminasi dari keluarga, teman, dan anggota masyarakat. Beberapa ahli menyalahkan kurangnya pemahaman yang meluas tentang sifat penyakit mental untuk fenomena ini. Orang dengan penyakit mental telah diketahui melaporkan bahwa keluarga dan teman tidak menganggap serius penyakit mental, atau memperlakukannya sebagai kondisi mental yang sebenarnya. Sebaliknya, keluarga dan teman mungkin lebih cenderung memperlakukan penyakit mental orang tersebut sebagai cacat karakter, atau sebagai masalah kecil yang harus dapat dikendalikan oleh orang tersebut melalui kemauan keras saja. Kegagalan untuk mengenali sifat medis yang serius dari penyakit mental dapat menghilangkan dukungan sosial yang mereka butuhkan dari orang yang sakit mental.

Stigma sosial seputar penyakit mental bahkan dapat menempatkan orang dengan gangguan mental pada peningkatan risiko menderita kekerasan fisik dan verbal. Sementara para ahli cenderung percaya bahwa kebanyakan orang dengan penyakit mental tidak melakukan kekerasan, banyak orang awam percaya bahwa orang yang sakit mental sangat rentan terhadap ledakan kekerasan. Keyakinan bahwa orang yang sakit jiwa sering kekurangan kecerdasan dan keterampilan, atau bahwa mereka tidak dapat dipercaya, dapat menempatkan orang yang sakit jiwa, dan keluarga serta teman-teman mereka, pada risiko menjadi korban.