Apa Peran Oxymoron dalam Sastra?

Penulis menggunakan oxymoron dalam sastra untuk beberapa alasan yang berbeda, tetapi beberapa peran yang paling umum termasuk iluminasi konflik, penciptaan makna baru, dan menampilkan beberapa paradoks tertentu. Kadang-kadang juga sebagai elemen humor, atau sebagai cara untuk menunjukkan kecerdasan seorang penulis. Secara umum, oxymoron adalah pasangan dari dua istilah yang tampaknya bertentangan; kebanyakan contoh adalah frasa tunggal, seperti “bijaksana bodoh,” tetapi penjajaran juga bisa lebih buram dalam sebuah kalimat atau frasa. Dalam hampir semua kasus itu disengaja, dan penulis biasanya menggunakannya untuk menarik perhatian pada sesuatu atau membuat beberapa poin yang lebih besar.

Memahami Perangkat Secara Umum

Oxymoron mungkin paling baik dipahami sebagai kiasan, meskipun para sarjana biasanya menyebutnya sebagai “perangkat sastra”: metode yang dapat digunakan penulis sebagai sarana untuk menyampaikan makna atau rangkaian emosi yang lebih besar. Dalam kebanyakan kasus itu dianggap artistik dan, bila digunakan dengan benar, bisa sangat efektif dalam mengarahkan pendapat pembaca dan “mengatakan tanpa mengatakan,” yaitu, menggunakan kata-kata untuk membuat poin yang tidak harus dieja secara ketat.

Konflik yang Mencerahkan

Maksud dari oxymoron dalam literatur biasanya dapat dilihat dari bagaimana perangkat itu digunakan dan kata-kata spesifik yang dikandungnya. Misalnya, dalam Romeo and Juliet karya William Shakespeare, Juliet menyebut Romeo “tiran yang cantik, malaikat yang jahat” ketika dia mengetahui bahwa Romeo membunuh sepupunya. Penjajaran istilah-istilah ini bersama-sama – cantik dan tiran, jahat dan malaikat – kemungkinan besar merupakan upaya untuk menunjukkan emosi yang saling bertentangan yang dimiliki Juliet untuk Romeo. Meskipun membunuh sepupunya, yang membuatnya menjadi iblis dan tiran, dia masih cantik dan seperti malaikat baginya karena dia jatuh cinta padanya.

Untuk Menciptakan Makna Baru
Penulis juga dapat menggunakan perangkat ini sebagai cara untuk menciptakan makna baru. Penggunaan bahasa secara kreatif sering kali menjangkau pembaca lebih baik daripada sekadar menyatakan sesuatu dalam bahasa sederhana. Oxymora seperti “keheningan yang memekakkan telinga”, “jeritan sunyi”, dan “pahit-manis” dapat menciptakan makna baru dan gambaran yang bertahan lama. Dimasukkannya kata-kata kontradiktif di samping satu sama lain membuka mereka untuk interpretasi baru. Jika interpretasi ini sesuai dengan situasi, seperti kebingungan Juliet tentang cinta dan kebencian terhadap Romeo, maka makna baru dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Untuk Menampilkan Paradoks
Rasa kebingungan atau paradoks adalah kemungkinan peran lain dari oxymoron dalam sastra. Karakter yang mengekspresikan “keberanian yang menakutkan” atau “kabung yang menggembirakan”, misalnya, dapat membingungkan pembaca dan membuatnya berhenti sejenak dan berpikir lebih keras tentang situasi yang dihadapi. Semua dapat digunakan oleh seorang penulis untuk membuat pembaca mempertanyakan keadaan pikiran karakter, atau membuat pembaca kurang yakin dengan tindakan yang akan diambil karakter. Mereka juga dapat mengungkapkan konflik internal, di mana karakter bertindak dan muncul satu arah ke dunia luar tetapi merasakan sesuatu yang berbeda di dalam.

Sebagai Elemen Humoris
Humor adalah kemungkinan peran lain untuk perangkat semacam ini. Oxymora sebagai kelas biasanya tidak menghibur, tetapi tergantung pada penggunaannya, mereka bisa. Terkadang penulis menggabungkan istilah yang kontradiktif karena lucu, dan hasil akhirnya sangat tidak masuk akal hingga lucu. Penulis yang menggunakan perangkat dengan cara ini sering disebut “jenaka”.
Mengacu pada frasa majemuk yang secara teknis tidak oxymoronic dengan istilah ini juga bisa menjadi humor dalam pengaturan yang tepat. Misalnya, ungkapan “intelijen militer” sendiri adalah umum dan cukup serius, tetapi jika diartikan sebagai sebuah oxymoron, humor menjadi jelas. Ini juga berfungsi dengan frasa lain seperti “politisi jujur”, “organisasi pemerintah”, dan “televisi pendidikan”. Penulis sering menggunakan frase semacam ini sebagai oxymoron untuk efek retoris.