Apa Arti Memberi Seseorang Bulu Putih?

Tradisi memberikan bulu putih kepada orang-orang yang tidak wajib militer, meskipun tampak memenuhi syarat, sudah berusia ratusan tahun. Idenya berasal dari olahraga sabung ayam, di mana ayam jantan dengan satu bulu putih di ekornya diyakini sebagai petarung yang malang. Bulu juga menunjukkan bahwa burung adalah anjing kampung, bukan ras murni. Ketika praktik membagikan bulu seperti itu tersebar luas, menerima bulu seharusnya menunjukkan bahwa seseorang adalah seorang pengecut.

Inggris paling erat terkait dengan konvensi bulu putih, dan ini menjadi benar terutama selama Perang Dunia Pertama. Pada tahun 1914, Laksamana Charles Fitzgerald memulai Ordo Bulu Putih, dan mendorong wanita untuk memberikan bulu tersebut kepada pria tanpa seragam. Praktek ini menyebar ke Australia dan Amerika Serikat, dan dirancang untuk mempermalukan pria yang tidak berperang. Beberapa pria mengkritik keras praktik tersebut, dengan alasan bahwa karena wanita tidak memenuhi syarat untuk melayani, tidak masuk akal bagi mereka untuk terlibat dalam politik militer.

Khususnya di Inggris, seseorang dapat dikatakan “menunjukkan bulu putih” ketika mereka melakukan tindakan pengecut yang ekstrem. Konsep ini digunakan di dunia sipil, bukan hanya militer, meskipun maksud kritiknya sama.
Politik bulu putih itu rumit. Dalam beberapa kasus, seorang pria mungkin tidak berseragam karena dia melayani negaranya dalam kapasitas lain. Pegawai negeri, dokter, dan orang-orang dalam kapasitas yang sama kadang-kadang diberikan secara keliru oleh orang-orang yang tidak mengerti mengapa mereka tidak berseragam. Di Inggris, orang-orang yang berada di posisi ini kadang-kadang diberi lencana untuk dipakai, agar mereka tidak “berbulu” saat menjalankan bisnis sehari-hari. Dalam kasus lain, seorang pria mungkin ditolak untuk dinas karena kesehatannya yang buruk, dan bulu itu akan semakin membuatnya tertekan dan mempermalukannya.

Namun, sekelompok pria lain justru bangga menerima bulu putih. Perang Dunia Pertama melihat ledakan penentang hati nurani, kadang-kadang dari dalam militer itu sendiri. Para pasifis ini tidak dapat dengan hati nurani yang baik mendukung perang, dan sebagai hasilnya mereka menerima banyak bulu. Beberapa pemimpin terkenal dalam gerakan itu dikatakan senang menerima “bulu yang cukup untuk membuat kipas”. Gerakan perdamaian mengambil ide satu langkah lebih jauh di tahun 1930-an dan 1940-an dengan secara aktif mengadopsinya sebagai simbol, meskipun tidak terkait dengan merpati putih perdamaian.