Oil shale merupakan suatu bentuk batuan sedimen yang mengandung senyawa-senyawa yang dapat diubah menjadi hidrokarbon. Sebenarnya, istilah “minyak serpih” agak keliru, karena serpih minyak sebenarnya bukan serpih, dan juga tidak mengandung minyak. Deposito serpih minyak di seluruh dunia berpotensi menghasilkan sekitar tiga triliun barel minyak, jika diproses secara efisien, dan banyak perusahaan minyak bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi mereka untuk membuat angka ini lebih tinggi lagi. Dengan demikian, serpih minyak dipandang sebagai alternatif potensial untuk ekstraksi minyak mentah, sebagai tanggapan atas kekhawatiran tentang berkurangnya cadangan minyak mentah.
Seperti minyak mentah, serpih minyak mengandung sejumlah besar bahan organik. Dalam serpih minyak, bahan organik ini membentuk senyawa yang dikenal sebagai kerogen, yang dapat diekstraksi dari batuan dengan memanaskannya untuk menghasilkan uap. Uap tersebut kemudian dapat disuling untuk membuat berbagai rantai hidrokarbon, mulai dari minyak pemanas hingga gas. Serpih minyak juga secara historis digunakan sebagai sumber bahan bakar, karena batuan akan benar-benar terbakar, berkat kerogennya.
Pemrosesan serpih minyak bukannya tanpa dampak lingkungan yang serius. Pertama, batuan harus diekstraksi, menghasilkan berbagai masalah yang terkait dengan pertambangan termasuk erosi dan polusi. Kemudian, batu harus diperlakukan untuk mengekstrak kerogen. Selama proses pengolahan, batuan tersebut mengembang, sehingga sulit untuk dimasukkan kembali ke dalam tambang setelah area tersebut dikupas, dan batuan tersebut juga bersifat karsinogenik, sehingga sulit untuk dibuang dengan aman. Proses penyulingan juga memakan banyak sumber daya, membuatnya bahkan kurang efisien daripada penyulingan minyak mentah tradisional.
Program pemrosesan serpih minyak telah diujicobakan di beberapa negara; batu itu sendiri telah digunakan dalam proses industri sejak tahun 1800-an. Namun, penambangan dan pemrosesan serpih minyak skala besar telah mendapat tentangan serius dari banyak organisasi lingkungan, dengan anggota khawatir bahwa hal itu dapat merusak lingkungan sambil mendorong ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pikiran untuk menggali petak-petak lanskap alam yang luas untuk tujuan mengekstraksi bahan bakar juga sangat tidak disukai banyak aktivis, yang prihatin dengan wilayah hutan belantara yang tersisa di Bumi.
Pada awal abad ke-21, ketika harga minyak mulai naik cukup dramatis, banyak orang melihat minyak serpih, pasir yang mengandung minyak, dan batuan bitumen sebagai sumber energi potensial. Namun, sumber-sumber ini pada akhirnya hanya sebagai pengganti sementara, karena pada akhirnya cadangan bahan-bahan ini juga akan hilang, membuat orang menghadapi krisis energi yang serius. Dalam jangka pendek, konversi ke bahan-bahan tersebut dapat mendorong harga energi lebih tinggi lagi, sebagai akibat dari tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuatnya dapat digunakan.