Depleted uranium, atau DU, adalah zat yang tertinggal setelah fraksi uranium 235 yang diperkaya dihilangkan dari uranium alam. Ketika potensi uranium untuk pembangkit listrik dan senjata pertama kali disadari, uranium yang terkuras diperlakukan sebagai produk sampingan dari proses manufaktur. Namun, para peneliti menemukan bahwa karena uranium yang terdeplesi sangat padat, sangat cocok untuk digunakan dalam senjata penembus lapis baja dan tank. Itu juga memiliki aplikasi potensial sebagai bentuk pemberat. Akibatnya, uranium yang habis mulai digunakan secara aktif, sebagian besar oleh militer.
Uranium adalah unsur putih keperakan alami dengan sifat radioaktif. Ia memiliki banyak isotop, termasuk uranium 235 dan uranium 238, isotop yang membentuk fraksi terbesar dari uranium yang terdeplesi. Ini tidak radioaktif seperti plutonium, elemen terkait, tetapi dapat diperkaya dengan mengekstraksi uranium 235 dan digunakan untuk senjata nuklir dan pembangkit listrik. Uranium yang diperkaya cukup kuat untuk digunakan dalam senjata skala besar, seperti yang dibuktikan pada tahun 1945 ketika “Little Boy”, sebuah bom nuklir yang dibuat dengan uranium yang diperkaya, meledak di atas Hiroshima.
Banyak orang di seluruh dunia khawatir tentang penggunaan depleted uranium dalam senjata, karena berpotensi mencemari lingkungan. Selain radioaktivitas, depleted uranium adalah logam berat, dan dapat berdampak serius jika dilepaskan dalam volume besar. Senjata yang dibuat dengan depleted uranium juga biasanya dicampur dengan timbal dan logam berat lainnya, sehingga menimbulkan risiko kontaminasi yang signifikan. Radioaktivitas yang lemah dari depleted uranium juga menjadi masalah yang memprihatinkan.
Senjata yang dibuat dengan depleted uranium telah digunakan di Irak dan Balkan secara luas, serta dalam bentuk yang lebih terbatas di negara lain. Investigasi oleh badan-badan internasional telah mengungkapkan peningkatan tingkat radioaktivitas di daerah di mana uranium telah digunakan. Tank-tank yang dihancurkan dengan peluru depleted uranium sering ditinggalkan di pinggir jalan dan diselidiki oleh penduduk setempat. Kekhawatirannya adalah bahwa masyarakat setempat dapat terpapar radiasi melalui peralatan militer yang ditinggalkan, dan banyak organisasi telah melobi untuk pembersihan peralatan yang terkontaminasi dengan uranium yang terdeplesi, serta moratorium penggunaan zat tersebut. Tentara juga berisiko terkena depleted uranium, dengan membawa peluru dan berada dalam situasi di mana peluru depleted uranium meledak.
Tidak ada badan yang mengatur penggunaan senjata depleted uranium, yang diproduksi oleh banyak negara. Secara teknis tidak diklasifikasikan sebagai nuklir atau beracun, meskipun jelas beracun. Berbagai kelompok individu telah menyarankan bahwa uranium yang habis harus diatur dan diperiksa lebih ketat, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa orang percaya bahwa zat tersebut terkait dengan Sindrom Perang Teluk, bersama dengan meningkatnya cacat lahir di daerah di mana uranium yang terkuras telah digunakan. Hubungan dengan cacat lahir telah didukung melalui penelitian yang dilakukan oleh beberapa organisasi, termasuk militer Amerika, yang menunjukkan bahwa depleted uranium mungkin berdampak pada organ reproduksi.